JAKARTA, radartegalonline- Silicon Valley Bank kolaps dalam 48 jam usai mengalami krisis modal. Kabar tersebut tengah mengemuka dan viral saat ini.
Meski berpusat di California, Amerika Serikat (AS), kabar ini membuat publik Indonesia terkejut. Pasalnya, Silicon Valley Bank (SVB) merupakan bank terbesar ke-16 di negeri Paman Sam tersebut.
SVB kolaps pada Jumat, 10 Maret 2023 waktu setempat. Namun, Senin, 13 Maret 2023 hari ini, Otoritas Jasa Keuangan AS mengatakan, kantor utama dan semua kantor-kantor SVB akan dibuka kembali.
Sejak kolaps, kantor-kantor tersebut memang ditutup. Pembukaan kantor tersebut agar semua nasabah yang masuk penjaminan bisa mengakses dana mereka.
Sayangnya, menurut Lembaga Penjamin Simpanan Federal (FDIC), sekitar 89 persen dari dana yang ada di SVB senilai $175 miliar dollar Rp2.712 triliun per akhir 2022 tidak masuk dalam penjaminan dan nasib dana-dana itu belum diketahui jelas.
Silicon Valley Bank Kolaps
1. Komentar Warganet
Warganet ikut mengomentari hal ini saat kabar tersebut mencuat di akun media sosial Instagram @bigalphaid. Beberapa di antaranya menyinggung soal kemungkinan skandal ini merembet ke Indonesia.
“Bentar lagi nyampe ke indonesia. Diawali oleh fintech lalu bank digital,” tulis akun @udinmantapj***.
Lalu, ada akun @firla*** yang menyinggung kepanikan setelah bank tersebut tumbang.
“Inflasi tinggi, bunga debt tinggi, ada masalah likuiditas bank, orang pasti panik.”
Sementara akun @vondestreux*** menuliskan rasa kasihan pada bank tersebut.
“Karena SVB jadi kasian yg pegang USDC panik trus jual bawah.”
Lain lagi dengan akun @shenme_she*** yang mempertanyakan kenapa tidak dana nasabah mendapatakan penjaminan.
“Kenapa tidak dijamin LPS?”
Terakhir akun @raihanud*** menulis komentar lebih panjang. Dia mempertanyakan sikap manajemen yang langsung memutuskan kolaps.
“Yang jadi pertanyaan kenapa manajemen langsung mutusin buat cut loss bondsnya buat ngebantu likuiditas? apa di US ga ada fasilitas pasar uang antar bank kaya di Indo? kan bisa borrow dulu ke bank lain atau ngerepo bondsnya ke the Fed kl lg short?”
2. Peristiwa Terbesar Kedua
Silicon Valley Bank kolaps adalah peristiwa terbesar kedua dalam perekonomian usai Washington Mutual bangkrut sedekade silam tepatnya pada 2008. Peristiwa kebangkrutan tersebut memicu krisis keuangan yang mengakibatkan lumpuhnya perekonomian selama bertahun-tahun.
Lepas dari hal ini, nasib tragis yang terjadi pada SVB benar-benar mengejutkan banyak pihak. Apalagi, SVB adalah bank pemberi modal startup yang berdiri pada 17 Oktober 1983.
Kegagalan SVB sebagian karena Federal Reserve yang mulai menaikkan suku bunga pada setahun lalu untuk mengendalikan inflasi.
The Fed bergerak agresif sehingga membuat biaya pinjaman ke bank yang lebih tinggi melemahkan momentum saham teknologi yang menguntungkan SVB.
Kronologi tumbangnya bank tersebut terjadi dalam waktu cepat. Hanya dalam waktu 2 hari atau 48 jam saja.
Padahal, pada akhir 2022, SVB memiliki aset US$209 miliar setara Rp3.232 triliun. Kemudian ada deposito sekitar US$175,4 miliar atau setara Rp2.712 triliun.
Pada Rabu, 8 Maret 2023, SVB mengumumkan telah menjual banyak sekuritas yang merugi. Perusahaan menjual US$2,25 miliar dollar atau setara dengan Rp38 triliun saham baru untuk menopang neraca keuangan.
Hal itu memicu kepanikan di antara perusahaan pemodal ventura utama, yang kemudian dilaporkan menarik dana mereka di bank tersebut.
Pada Kamis, 9 Maret 2023 perusahaan merencanakan penggalangan dana sebesar US$1,75 miliar dollar atau setara dengan Rp27,13 triliun untuk tujuan memperkuat modal.
Sayangnya, hal ini mendapat respons negatif dari para investor. Penarikan dana besar-besaran dari SVB terjadi. Terutama oleh perusahaan pemodal utama bank tersebut.
3. Harga Saham Anjlok 60 Persen
Akibatnya harga saham anjlok 60 persen. Situasi ini menyeret bank-bank lain untuk ikut jatuh.
Saham-saham kembali merosot pada Jumat, 10 Maret 2023 sebelum pembukaan perdagangan di bursa Nasdaq. Regulator California turun tangan dengan menutup bank tersebut.
Regulator kemudian menempatkan SVB di bawah Lembaga Penjamin Simpanan Federal (FDIC) sebagai pihak yang melikuidasi aset-aset bank.
Suku bunga yang lebih tinggi juga mengikis nilai obligasi jangka panjang untuk SVB dan bank lain selama era suku bunga yang sangat rendah hingga mendekati nol.
Pada saat yang sama, modal ventura mulai menyusut, memaksa para pemilik modal untuk menarik dana yang dihimpun oleh SVB. Obligasi yang belum direalisasi dan di saat bersamaan terjadi penarikan masif membuat bank itu duduk dalam kerugian. ***